Kehidupan masyarakat tani sebagai orang desa yang bercocok tanam di daerah pedesaan selalu dicirikan sebagai petani sederluma, miskin modal, berlahan sempit, subsistem, serta kurang terdidik. Selain itu, secara historis kehidupan petani selalu diilustrasikan sebagai “manusia kalah” baik kalah karena ketergantungannya pada alam maupun kalah dalam proses terbentuknya lembaga serta sistem kekuasaan dan politik yang ada di dalamnya, Eric R wolf.
A. PENDAHULUAN
Pertanian adalah hal yang substansial dalam pembangunan, yaitu sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, penyedia bahan mentah untuk industri, penyedia lapangan kerja, dan penyumbang devisa negara. Adalah wajar apabila bangsa Indonesia sebagai bangsa yang membangun selalu meletakkan pembangunan sektor pertanian sebagai prioritas utama dalam pembangunan selama lima PELITA terakhir. Titik kulminasi pembangunan pertanian dalam hal ini pertanian tanaman pangan terjadi pada tahun 1984, yaitu saat Indonesia yang sebelumnya mendapat predikat sebagai negara pengimpor beras terbesar ini dapat mencapai swasembada beras dengan program “Bimas”-nya. Memang hasil yang spektakuler, akan tetapi banyak pertanyaan yang muncul. Apakah metode pertanian yang diterapkan dalam pencapaian swasembada beras (Revolusi Hijau) tersebut masih tepat sebagai jawaban dalam pemenuhan kebutuhan pangan?
Sementara, akibat yang ditimbulkan sangat merugikan dalam hal, antara lain: menurunnya produktivitas tanah akibat penggunaan pupuk kimia anorganik secara berlebihan yang memang berfungsi sebagai suplemen untuk bibit unggul agar mendapatkan hasil yang maksimal, rusaknya keseimbangan ekosistem akibat penggunaan pestisida yang tanpa disadari juga mengakibatkan matinya spesies lain selain hama dan penyakit tanaman. Dengan tidak disadari pula, bahwasanya untuk memenuhi kebutuhan akan pupuk dan pestisida anorganik memerlukan biaya yang relatif mahal. Apalagi setelah subsidi terhadap pupuk ditarik oleh pemerintah yang berimplikasi pada semakin tingginya biaya produksi dalam usaha tani.
Dunia usaha pertanian saat ini dihadapkan pada dilema, apakah akan tetap mempertahankan pola pengelolaannya seperti saat ini dengan menggunakan lebih banyak input luar (obat-obatan dan pupuk buatan), atau dengan menggunakan lebih banyak input dalam (kompos, pupuk kandang, dan obat-obatan alami). Dua pilihan ini sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan bila dipilih memiliki bobot pilihan yang imbang. Jika memilih dengan lebih banyak menggunakan input luar, dalam jangka pendek kebutuhan akan hasil-hasil pertanian akan dapat dipenuhi, akan tetapi dalam jangka panjang, akan mengalami penurunan yang drastis akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Sebaliknya, jika pilihan jatuh pada penggunaan input dalam yang lebih banyak, maka dalam jangka pendek kebutuhan akan hasil-hasil pertanian tidak dapat dipenuhi. Akan tetapi, dalam jangka panjang akan menjamin terpenuhinya kebutuhan akan hasilhasil pertanian secara berkesinambungan.
B. SISTEM PERTANIAN KONVENSIONAL
Sistem pertanian tradisional, meskipun akrab lingkungan tetapi tidak mampu mengimbangi laju kebutuhan pangan dan sandang yang meningkat lebih tajam dibandingkan dengan laju pertambahan penduduk. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak temuan baru yang kemudian menggeser sistem tradisional menjadi sistem pertanian konvensional. Sistem pertanian konvensional terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara global, khususnya di bidang pertanian. Salah satu contoh di negara Indonesia adalah mampu berswasembada pangan (terutama beras) sejak tahun 1983 hingga 1997. Tetapi sistem pertanian konvensional tidak terlepas dari risiko dampak negatif. Meningkatnya kebutuhan pangan seiring laju pertambahan penduduk, menuntut peningkatan penggunaan bahan kimia pertanian seperti pupuk dan pestisida.
Schaller (1993) menyebutkan beberapa dampak negatif dari sistem pertanian konvensional, yaitu sebagai berikut:
- Pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia pertanian dan sedimen.
- Ancaman bahaya bagi kesehatan manusia dan hewan, baik karena pestisida maupun bahan aditif pakan.
- Pengaruh negatif aditif senyawa kimia pertanian tersebut pada mutu dan kesehatan makanan.
- Penurunan keanekaragaman hayati termasuk sumber genetik flora dan fauna yang merupakan modal utama pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture).
- Perusakan dan pembunuhan satwa liar, lebah madu, dan jasad berguna lainnya.
- Peningkatan daya ketahanan organisme pengganggu terhadap pestisida.
- Penurunan daya produktivitas lahan karena erosi, pemadatan lahan, dan berkurangnya bahan organik.
- Ketergantungan yang makin kuat terhadap sumber daya alam tidak terbarui (nonrenewable natural resources).
- Munculnya risiko kesehatan dan keamanan manusia pelaku pekerjaan pertanian.
C. SISTEM PERTANIAN ORGANIK
Sistem pertanian organik berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi dengan memerhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian dan lingkungan. Menurut IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movements), tujuan yang hendak dicapai dengan penggunaan sistem pertanian organik adalah sebagai berikut:
- Menghasilkan bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah cukup.
- Melaksanakan interaksi efektif dengan sistem dan daur alamiah yang mendukung semua bentuk kehidupan yang ada.
- Mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usaha tani dengan mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna, tanah, tanaman, serta hewan.
- Memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan.
- Menggunakan sebanyak mungkin sumber-sumber terbarui yang berasal dari sistem usaha tani itu sendiri.
- Memanfaatkan bahan-bahan yang mudah didaur ulang baik di dalam maupun di luar usaha tani.
- Menciptakan keadaan yang memungkinkan ternak hidup sesuai dengan perilakunya yang hakiki.
- Membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin dihasilkan oleh kegiatan pertanian.
- Mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelestarian habitat tanaman dan hewan.
- Memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian (terutama petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan kerja, termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat.
- Mempertimbangkan dampak yang Iebih luas dari kegiatan usaha tani terhadap kondisi fisik dan sosial.
D. BIOTEKNOLOGI PERTANIAN
Teknologi rekayasa genetika merupakan salah satu alternatif solusi yang dibutuhkan, karena pemuliaan tanaman setelah keberhasilan revolusi hijau dalam memberikan varietas tanaman dengan hasil panen yang signifikan berlipat. Bioteknologi telah ma mpu memodifikasi genetika sehingga dihasilkan tanaman tahan hama. Salah satu contoh adalah tanaman tahan hama serangga lepidoptera. Hama serangga merupakan salah satu penyebab kerugian yang bernilai ekonomis dalam bidang pertanian. Tanaman tahan hama menawarkan manfaat bagi para petani, masyarakat umum, dan lingkungan, antara lain sebagai berikut:
- Pengontrolan hama serangga yang lebih dapat diandalkan, lebih hemat biaya, dan tenaga kerja.
- Meningkatkan pengontrolan hama lepidoptera tanpa membahayakan spesies nontarget, termasuk serangga berguna.
- Mengurangi penggunaan insektisida secara kimia dengan tetap mempertahankan hasil panen.
- Mengurangi ketergantungan petani pada pestisida.
- Mereduksi mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur yang timbul pada luka tanaman yang dihasilkan serangga.
Banyak ahli dan petani yang optimis bahwa prospek penggunaan bioteknologi pertanian dapat digunakan untuk meningkatkan hasil/ panen dannilaigiziproduk-produk dari tanaman pangansambil mengurangi penggunaan pestisida kimiawi. Biotenologi dapat meningkatkan tanaman pangan melalui penambahan satu atau beberapa gen untuk membuat agar tanaman tersebut lebih toleran terhadap stres dan lebih resisten terhadap hama dan penyakit. Ada banyak isu yang terkait dengan transfer bioteknologi di negara-negara sedang berkembang. Masalah yang dikhawatirkan timbul antara lain sebagai berikut:
- Pengurangan keanekaragaman karena paksaan atau dorongan untuk menggunakan satu atau beberapa varietas tanaman sehingga dapat memicu serangan hama atau stres baru yang tidak diperkirakan sebelumnya.
- Penguasaan atau konsentrasi perusahaan biji hanya pada perusahaan tertentu, sehingga dapat mengendalikan pasar.
- Kurangnya fasilitas dan pengetahuan untuk menguji kelayakan tanaman khususnya di daerah tropika dengan jenis hama yang bervariasi.
- Masalah paten, rahasia perusahaan yang dimiliki oleh perorangan atau perusahaan atau institusi tertentu sehingga tidak semua orang dapat menggunakan produk-produk paten tanpa izin atau tanpa membayar royalti.
- Kurangnya pengetahuan tentang proses dan pengujian yang teliti untuk mencegah munculnya atau tersebarnya alergan.
- Kurangnya pengetahuan akan perkembangan resistensi hama terhadap bahan kimia tertentu yang digunakan untuk memberantasnya. Diperkirakan bahwa hama yang pada mulanya sensitif terhadap toksin, kemungkinan akan mengembangkan ciri barn yang membuatnya resisten terhadap toksin.
- Tantangan dari berbagai pihak yang tidak menyetujui dengan upaya-upaya manipulasi alam dan gangguan terhadap alam.
E. PEMBERDAYAAN DAN KEWIRAUSAHAAN PETANI KECIL
Bertolak dari keadaan yang telah dikemukakan, untuk mengantarkan petani agar berpartisipasi dan mendapatkan keuntungan dalam ekonomi global diperlukan adanya pemberdayaan (empowerment) dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan (enterpreneurship). Dalam hubungannya dengan pemberdayaan, Friedman (1992 dalam Molo, 1999) mengatakan bahwa rumah tangga mem iliki tiga macam kekuatan: sosial, politik, dan psikologis. Kekuatan sosial menyangkut akses terhadap dasar-dasar produksi, termasuk informasi, pengetahuan, dan keterampilan, partisipasi dalam organisasi sosial, dan sumber-sumber keuangan. Jika ekonomi rumah tangga meningkatkan aksesnya pada dasar-dasar produksi, boleh diharapkan kemampuannya dalam menentukan tujuannya juga meningkat. Kekua tan psikologis direfleksikan dalam rasa memiliki potensi individu. Dalam hubungan ini peningkatan kemandirian dapat dicapai melalui pemherdayaan yang bersifat partisipatif. Artinya, untuk mencapai perubahan diperlukan partisipasi keluarga petani tanpa mengurangi esensi inisiatif program-program di atas.
Pemberdayaan petani sudah barang tentu harus dilakukan secara bertahap. Pemberdayaan dapat dilakukan antara lain dengan menstimulasi munculnya jiwa kewirausahaan di antara para petani kecil. Menurut Schumpeter (dalam Molo, 1999) wirausahawan adalah penggerak utama pembangunan ekonomi, yang berfungsi untuk melakukan inovasi atau merancang kombinasi-kombinasi baru. Dengan keyakinan tersebut kita dapat berharap bahwa dengan merekayasa kewirausahaan di kalangan petani, mereka akan menjadi penggerak, dan bukan penerima pasif terhadap ide-ide pembangunan pertanian.
Meredith et al., (dalam Molo, 1999) mengemukakan enam ciri dan sifat wirausaha, yaitu (1) percaya diri (mempunyai keyakinan, ketidaktergantungan, individualitas yang optimis), (2) berorientasi pada tugas dan hasil (kebutuhan berprestasi, berorientasi untuk memperoleh laba, tekun dan tabah, memiliki tekad untuk bekerja keras, mempunyai motivasi kuat, energik, dan berinisiatit), (3) pengambil risiko (kemampuan mengambil risiko, suka pada tantangan), (4) kepemimpinan (bertingkah laku seperti pemimpin, dapat bergaul dengan orang lain), (5) keorisinilan (inovatif dan kreatif, fleksibel, punya banyak sumber daya, serba bisa, berpengetahuan luas), dan (6) berorientasi ke masa depan (pandangan ke depan, perspektif). Sebagai usahawan para petani juga diberi kesempatan untuk menghadapi berbagai risiko, termasuk di antaranya: risiko finansial (pendapatan dan modal) dan risiko moril.
F. PENUTUP
Alam itu sangat kompleks, kerjanya tidak bisa diatur. Beberapa inovasi tampaknya untung dan logis, namun dalam banyak hal kita belum tahu. Dengan Revolusi Hijau memang ada beberapa peningkatan, seperti bibit, pupuk, dan mesin, tetapi bila dalam aplikasinya kurang bijaksana tentu akan menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem. Usaha manusia untuk memperoleh bahan makanan yang berasal dari tanaman sebanyak mungkin dilakukan dengan berbagai usaha. Sayangnya, setiap tindakan yang dilakukan manusia tidak selalu baik akibatnya, baik secara ekonomi, ekologi, maupun sosial. Bioteknologi pada pertanian dikembangkan sebagai cara untuk memperbaiki kualitas tanaman dengan modifikasi gen. Mendasarkan anggapan, manusia diciptakan oleh Allah memiliki tugas panggilan dan tanggung jawab untuk memelihara planet bumi ini dengan segala isinya. Konsekuensi atas pilihan di muka adalah akan merevisi atau mengubah paradigma lama tentang pengelolaan usaha pertanian yang selama ini berlaku dan menciptakan paradigma baru sesuai dengan prinsi-prinsip pengelolaan usaha pertanian. Ilmu dan teknologi yang dikembangkan dan dipelajari, isi kurikulum berikut silabusnya, dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan dunia pendidikan pertanian harus bertumpu dan dibangun berdasarkan paradigma baru, yaitu usaha pertanian sebagai tugas panggilan Allah kepada manusia yang harus dipertanggungjawabkan.
PUSTAKA
Membangun karakter petani organik sukses dalam era globalisasi Oleh Y. W. Wartaya Winangun